oleh : gambuang.sichubby
Neurosis kadang-kadang disebut psikoneurosis dan gangguan jiwa (untuk membedakannya dengan psikosis atau penyakit jiwa. Menurut Singgih Dirgagunarsa (1978 : 143), neurosis adalah gangguan yang terjadi hanya pada sebagian dari kepribadian, sehingga orang yang mengalaminya masih bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa sehari-hari atau masih bisa belajar, dan jarang memerlukan perawatan khusus di rumah sakit.
Dali Gulo (1982 : 179), berpendapat bahwa neurosis adalah suatu kelainan mental, hanya memberi pengaruh pada sebagaian kepribadian, lebih ringan dari psikosis, dan seringkali ditandai dengan : keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada indera dan motorik, hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan kurang memiliki energi fisik, dst.
Nurosis, menurut W.F. Maramis (1980 : 97), adalah suatu kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak diselesaikan suatu konflik tidak sadar. Menurut Bucklew (1980), para ahli membagi bentuk kecemasan itu dalam dua tingkat, yaitu:
1. Tingkat psikologis. Kecemasan yang berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan sebagainya.
2. Tingkat fisiologis. Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, perut mual, dan sebagainya.
1. FOBIA
Banyak ketakutan tertentu yang tidak menyebabkan derita yang cukup untuk memakasa individu mencari bantuan penanganan. Sebagai contoh jika seseorang yang memiliki ketakuatan yang sangat besar pada ular tinggal didaerah metropolitan, kecil kemungkinannya ia mengalami kontak langsung dengan objek yang dia takuti sehingga dapat tidak percaya bahwa ada yang salah dengan dirinya.
Selama bertahun-tahun bebagai istilah komplek telah diformulasikan untuk menyebut berbagai pola penghindaran yang sebenarnya tidak perlu beberapa istilah yang paling dikenal adalah claustro phobia, ketakutan pada ruang tertutup, aghoraphobiaketakutan pada tempat umum, dan acrophobia ketakutan pada ketinggian.
Para psikolog cenderung memfokuskan pada berbagai aspek fobia yang berbeda tergantung pada paradigma yang mereka anut. Para psikoanalisis berfokus pada isi fobia. Dalam sebuah kasus terkenal yang dilaporkan oleh Freud, seseorang anak laki-laki yang disebutnya Little Hans memeiliki ketakutan bertemu dengan kuda bila ia pergi keluar rumah. Freud memberikan perhatian khusus pada kata-kata Hans mengenai “sesuatu yang berwarna hitam di sekeliling mulut kuda dan sesuatu di depan matanya”. Kuda dianggap mewakili ayahnya, yang berkumis dan berkacamata. Freud berteori bahwa ketakutan pada ayah telah dialihkan pada ketakutan terhadap kuda yang kemudian dihindari Hans. Berbagai contoh lain semacam itu yang tak terhitung jumlahnya mungkin dapat diberikan. Poin utamanya adalah para psikoanalisis percaya bahwa isi fobia memiliki nilai simbolik penting. Di sisi lain para behavioris cenderung mengabaikan isi fobia dibanding memfokuskan pada fungsinya. Bagi mereka, ketakutan pada ular dan ketinggian memiliki kesamaan dalam kaitan bagaimana terjadinya, bagaimana ketakutan tersebut dapat dikurangi, dan sebagainya.
Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba menghindari situasi di mana ia mungin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berprilaku secara memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara atau melakukan sesuati di depan publik, makan di tempat umum, menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrem, bahkan dengan serangan panik besar besaran. Orang-orang yang menderita fobia sosial sering kali bekerja dalam pekerjaan atau profesi yang jauh di bawah kemampuan atau kecemasan mereka karena sensitifitas sosial ekstrem yang mereka alami – jauh melebihi apa yang kita pikirkan tentang rasa malu – sangat merugikan secara emosional. Lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah daripada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih berharga.
Fobia sosial cukup jamak terjadi, dengan angka pravalensisepanjang hidup 11 persen pada laki-laki dan 15 persen pada perempuan (Kessler dkk., 1994; Magee dkk., 1996). Fobia ini memiliki tingkat komorbiditas tinggi dengan berbagai gangguan lain dan sering kali terjadi bersamaan dengan gangguan menghindar gangguan mood, dan penyalahgunaan alkohol (Crum & Pratt, 2011; Jansen dkk., 1994; Kessler dkk., 1999; Lecrubier & Weiller, 1997). Seperti diharapkan, awal terjadinya biasanya pada masa remaja, saat kesadaran sosial dan interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting dalam kehidupan seseorang, namun seperti akan kita bahas nanti (hlm. 199), ketakutan semacam itu juga ditemukan pada anak-anak. Seperti halnya fobia spesifik, fobia sosial cukup bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, seperti telah dicatat sebelumnya, di Jepang ketakutan menyakiti orang lain merupakan hal yang sangat penting, sedangkan di Amerika Serikat ketakutan dinilai secara negatif oleh orang lain lebih jamak.
2. GANGGUAN PANIK
Serangan panik sepertinya muncul begitu saja, namun sebenarnya serangan panik akan muncul sebagai akibat dari stres, emosi, yag berlangsung untuk waktu yang lama, kekhawatiran mengenai sesuatu secara spesifik, atau pengalaman yang menimbulkan rasa takut (MC Nally, 1998). Sebagai contoh, salah seorang teman kami menjadi penumpang pesawat yang mendapatkan ancaman bom pada saat pesawat tersbut berada pada ketinggian 33.000 kaki, pada saat itu teman kami mampu menghadapai situasi tersebut dengan sangat baik, namun 2 minggu kemudia, secara tiba-tiba ia mengalami serangan panik.
Serangan panik dapat sering terjadi, mungkin sekali dalam seminggu atau lebih sering lagi; biasanya berlangsung selama beberapa menit, jarang dalam hitungan jam; dan kadangkala berkaitan dengan situasi spesifik, seperti mengendarai mobil. Jika sangat terkait dengan pemicu situasional, disebut serangan panik berisyarat (cued panik attacks). Jika terdapat hubungan antara stimulus dengan serangan namun tidak sangat kuat, serangan ini disebut sebagai serangan yang dipicu secara situasional. Serangan panik juga dapat terjadi dalam kondisi yang tampaknya tenang, seperti relaksasi, dalam tidur, dan dalam situasi yang tidak terduga; dalam kasus-kasus ini disebut sebagai serangan tanpa isyarat (uncued attacks). Serangan tanpa isyarat yang berulang dan khawatir mengalami serangan pada masa mendatang merupakan prasyarat diagnosis gangguan panik, namun serangan panik sendiri cukup banyak terjadi (antara 3-5 % dalam populasi umum setiap tahunnya) pada orang-orang yang tidak memenuhi kriteria gangguan panik (Norton, Cox, & Malan, 1992). Terjadinya serangan berisyarat saja kemungkinan besar menandakan adanya fobis.
Prevalensi sepanjang hidup ganguan panik sekitar 2% pada laki-laki dan lebih dari 5% pada perempuan (Kessler, dkk., 1994). Umumnya berawal pada masa remaja, dan kemunculannya terkait dengan pengalaman hidup yang penuh stress (Pollard, Pollard, dan Cori, 1989). Prevalensi gangguan panik bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, di Afrika didiagnosis pada sekitar 1% laki-laki dan 6% perempuan (hollifield, dkk., 1990), namun demikian di Taiwan prevalensi gangguan panik cukup rendah, mungkin disebabkan stigma bila menuturkan masalah mental (Weissman, dkk., 1997). Gangguan yang memiliki keterkaitan dengan gangguan panik juga terjadi dalam berbagai budaya lain. Di kalangan Eskimo di Greenland barat contohnya, kayak-angst terjadi pada para pemburu anjing laut yang berada sendirian di tengah lautan. Serangan mencakup rasa takut yang sangan besar, disorietasi, dan kekhawatiran akan tenggelam. Attaque de nervios pada awalanya diidentifikasi di Puerto Rico dan mencakup simtom-simtom fisik serta ketakutan menjadi gila setelah mengalami stress berat.
Lebih dari 80% pasien yang didiagnosis menderita salah satu gangguan anxietas juga mengalami serangan panik (Barlow, dkk., 1985). Koeksistensi gangguan panik dan depresi mayor juga umum terjadi (Johnson & Lydiard, 1988), sebagaimana komorbiditas antara ganggaun panik dan ganggaun anxietas menyeluruh, fobia, (Browndkk., 2001), alkoholisme, dan gangguan kepribadian (Johnson, Weissman, & Klerman, 1990), terutama gangguan kepribadian menghindar, dependen, dan histrionic. Sebagaimana dengan banyak gangguan yang dibahas dalam buku ini, komorbiditas diasosiasikan dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan hasil yang rendah, kemungkinan disebabkan lebih banyak masalah yang harus ditanagni (Newman, dkk., 1998).
3. GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH ( GENERALIZED ANXIETY DISORDER )
Individu yang menderita gangguan anxietas menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD) terus menerus merasa cemas, sering kali tentang hal-hal kecil. Sebagian besar di antara kita dari waktu ke waktu memiliki kekhawatiran. Namun, pasien yang menderita GAD memiliki kekhawatiran yang kronis. Mereka menghabiskan sangat banyak waktu mengkhawatirkan banyak hal dan mengganggap kekhawatiran mereka sebagai sesuatu yang tidak dapat dikontrol (Ruscio, Borkovek, & Ruscio, 2001). Kekhawatiran yang paling sering dirasaan oleh para pasien GAD adalah kesehatan mereka dan masalah sehari-hari, seperti terlambat menghadiri pertemuan atau terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Diagnosis GAD tidak ditegakkan jika kekhawatiran berkaitan dengan masalah-masalah yang dipicu oleh gangguan Aksis 1 lain, contohnya, kekhawatiran terhadap kontaminasi yang ersifat tidak dapat dikendalikan pada GAD dikonfirmasi oleh self-report dan data laboratorium (Becker dkk, 1998; Craske dkk, 1989). Ciri lain GAD mencakup kesulitan berkonsentrasi, sangat mudah lelah, ketidaksabaran, mudah tersinggung, dan ketegangan otot yang amat sangat.
Walaupun para pasien yang menderita gangguan anxietas menyeluruh umumnya tidak mengupayakan penanganan psikologis, prevalensi sepanjang hidup gangguan ini cukup tinggi; gangguan ini terjadi pada sekitar 5 persen dari populasi umum (Witichen & Hoyer, 2001). GAD umumnya mulai dialami pada pertengahan masa remaja, walaupun banyak orang yang menderita gangguan anxietas menyeluruh menuturkan bahwa mereka mengalami masalah tersebut sepanjang hidupnya (Barlow dkk, 1986). Berbagai peristiwa penuh stress dalam hidup tampaknya cukup berperan terhadap terjadinya gangguan ini (Blazer, Hughes, & George, 1987). Gangguan ini terjadi dua kali lebih banyak pada perempuan dibanding pada laki-laki, dan memili tingkat komorbiditas tinggi dengan gangguan anxietas lain dan dengan gangguan mood (Brown dkk, 2001). Sulit untuk berhasil menangani gangguan anxietas menyeluruh. Dalam suatu studi tindak lanjut selama lima tahun, hanya 18 persen pasien yang tidak lagi mengalami simtom-simtom gangguan tersebut (Woodman dkk, 1999) walaupun angka tersebut memiliki kemungkinan menigkat seiring dengan lebih baik banyak penggunaan terapi kognitif-berhavioral yang dibahas di bawah ini oleh para ahli klinis.
4. GANGGUAN OBSESIF – KOMPULSIF ( OBSESSIVE COMPULSIVE DISORDER (OCD) )
Contoh 1:
X adalah seorang remaja madya yang saat ini sedang kuliah disuatu universitas. sudah beberapa hari ini ia mempunyai kebiasaan aneh yang tidak bisa ia hentikan. kebiasannya adalah mencuci tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. teman-temannya juga heran mengapa ia berperilaku seperti itu. ketika ia berkonsultasi kepada psikolog sekolahnya ia baru tahu apa yang terjadi padanya. psikolog menanyainya apa yang menyebabkannya seperti itu, lalu X mulai menceritakan kejadian apa yang sebenarnya ia lakukan.X adalah kakak dari A. saat kecil keduanya pernah bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting dan menorehkannya ke lengan adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan menyebabkannya cacat. peristiwa ini membuatnya bersalah dan ia terus menerus memikirkan kesalahannya ini (obsesif), dan tiap kali ia mengingatnya ia akan mencuci tangannya berulang-ulang. (kompulsif).
Contoh 2:
Bencine berusia 45 tahun ketika mulai menjalani terapi. Ini keempat kalinya ia menjalani terapi rawat jalan, sebelumnya ia pernah dua kali dirawat di rumah sakit. Gangguan obsesif – kompulsif yang dideritanya bermula sejak 12 tahun lalu, tidak lama setelah kematian ayahnya. Sejak itu gangguan tersebut sering kambuh dan baru baru ini menjadi separah yang pernah dialami. Bernice terobsesi ketakutan mengalami kontaminasi, suasana ketakutan yang secara tidak jelas dikaitkannya dengan kematian ayahnya karena pneumonia. Walaupun dia menuturkan bahwa dia takut pada hamper semua hal , karena kuman dapat berada dimana pun,ia khususnya tidak nyaman bersentuhan dengan kayu ,”objek yang bergores,” surat, benda benda yang di kemas kaleng, dan “noda perak.” Noda perak yang di maksud Bernice adalah cetakan bewarna perak pada kartu ucapan, bingkai kaca mata, peralatan yang mengkilap, dan perabot perak. Ia tidak dapat menyatakan mengapa objek objek tersebut merupakan sumber kemungkinan kontaminasi.
Untuk mencoba mengurangi rasa tidak nyamannya, Bernice melakukan berbagai ritual kompulsif yang menghabiskan hampir seluruh waktunya.pagi hari ia menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam di kamar mandi, berulang kali mandi. Di antara waktu mandi ia mengelupas lapisan luar sabun mandinya sehingga sepenuhnya bebas dari kuman. Waktu makan juga berlangsung selama berjam-jam, seiring Bernice melakukan ritualnya – makan tiga suap makana. Pada satu waktu, engunyah setiap suapan 300 kali. Langkah ini dimaksudkan untuk secara ajaib menghilangkan kontaminasi pada makanannya. Suami Bernice kadangkala bahkan terlibat dalam upacara makn tersebut, mengocok teko teh dan sayuran beku di atas kepala Bernice untuk menghilangkan kuman. Ritual yang dilakukan Bernice dan ketakutannya terhadap kontaminasi telah merendahkan nilai kehidupannya sehingga hampir tiap melakukan apapun selain itu. Ia tidak keluar rumah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, atau bahkan berbicara melalui telepon
Prevalensi sepanjang hidup gangguan obsesif – kompulsif berkira 2,5 persen dan sedikit lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki laki ( Karno & Golding , 1991; Karno dkk., 1988; Stein dkk., 1997 ). Usia onset gangguan ini tampaknya bimodal, yaitu terjadi sebelum usia sepuluh tahun atau pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa ( Conceicao do Rasario – Campos dkk., 2001 ). Gangguan ini juga dilaporkan pada anak anak berusia dua tahun ( Rapoport, Swedo, & Leonard, 1992 ). Di antara kasus kasus terjadinya pada usia yang lebih dewasa, GOK sering kali dialami setelah kejadian yang penuh stress, seperti kehamilan, melhirkan, konflik keluarga, atau kesulitan dipekerjaan ( Kringlen, 1970 ).
Kemunculan pada usia muda lebih banyak terjadi pada laki laki dan berkaitan dengan kompulsi membersihkan ( Noshirvani dkk., 1991 ). Dalam suatu episode depresi, para pasien kadang kadang mengalami gangguan obsesif – kompulsif dan depresi yang signifikan sering di temukan pada pasien obsesif-kompulsif ( karno dkk., 1988; Rachman & Hodgson, 1980). Gangguan obsesif – kompulsif juga menunjukkan komorbiditas dengan gangguan anxietas lain, terutama dengan gangguan panik dan fobia (Austin dkk., 1990), dan dengan berbagai gangguan kepribadian ( Baer dkk ., 1990; Mavissikalian , Hammen, & Jones, 1990).
5. GANGGUAN STERS PASCATRAUMA (POSTTRAUMATIC STRES DISORDER (PTSD) )
Contoh :
Seorang penyanyi berusia 27 tahun dirujuk oleh seorang teman untuk menjalani evaluasi. Delapan bulan sebelumnya, kekasihnya telah menjalani korban penusukan hingga meninggal dalam suatu peristiwa penodongan, sedangkan dia dapat menyelamatkan diri tanpa terluka sedikitpun. Setelah melewati masa berkabung, tampaknya ia telah kembali normal. Dia membantu penyelidikan polisi dan secara umum dinilai sebagai saksi ideal. Namun demikian, tidak lama setelah penangkapan tersangka pembunuhan kekasihnya, pasien mulai berulang kali mengalami mimpi buruk dan ingatan yang sangat jelas tentang malam terjadinya kejahatan tersebut. Dalam mimpi-mimpinya dia sering melihat dirinya dikejar oleh orang yang mengancam dan tertutup wajahnya. Siang hari, terutama ketika berjalan sendirian, dia sering kali terhanyut dalam lamunan sehingga lupa kemana dia akan pergi. Teman-temannya mengamati bahwa dia mulai mudah terkejut dan tampaknya selalu khawatir akan sesuatu. Dia meninggalkan uang kembalian atau barang belanjaannya di toko atau ketika menunggu tidak dapat mengingat apa yang akan dibelinya. Tidurnya mulai gelisah dan pekerjaannya terganggu karena tidak dapat berkonsentrasi. Pelan-pelan dia mulai menarik diri dari teman-temannya dan mulai menghindari pekerjaannya. Dia merasa bersalah atas pembunuhan kekasihnya, walaupun tidak tahu secara pasti mengapa demikian. (Spitzer dkk., 1981, hlm. 17)
Gangguan stress pascatrauma (Postraumatis Stress Disorder PTSD),dimasukkan sebagai diagnosis dalam DSM-III, mencakup respons ekstrem terhadap suatu stressor berat, termasuk meningkatkan kecemasan, penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan trauma dan tumpulnya respons emosional. Walaupun selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa stress perang dapat menimbulkan efek negative yang sangat kuat pada para tentara, namun berakhirnya perang Vietnamlah yang mendorong diterimanya diagnosis baru tersebut. Seperti halnya gangguan lain dalam DSM, PTSD ditentukan oleh sekelompok simtom. Namun, tidak seperti definisi gangguan psikologis lain, definisi PTSD mencakup bagian dari asumsi etiologinya, yaitu suati kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya.
Terdapat perbedaan antara gangguan stress pascatrauma dan gangguan stress akut, suatu diagnosis yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir semua orang yang mengalami trauma mengalami stress, erkadang hingga tingkat yang sangat berat. Hal itu normal. Jika stressor menyebabkan kerusakan signifikan dalam keberfungsian social dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan, diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stress akut. Jumlah oaring yang mengalami stress akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang mereka alami. Dalam peristiwa pemerkosaan, angka penderitanya sangat tinggi, lebih dari 90% (Rothbaum dkk., 1992). Trauma yang tidak seberat itu, seperti berada di tengah penembakan massal atau mengalami kecelakaan bermotor, angka penderitanya jauh lebih rendah, contohnya 13% pada kecelakaan bermotor (Bryant &Harvey, 1998; Classen dkk., 1998). Walaupun beberapa orang dapat mengatasi gangguan stress akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderit aPTSD (Brewin dkk., 1999). Dengan demikian, PTSD dapat dipertimbangkan sebagai reaksi negative terberat terhadap stree (Ruscio & Keane 2002).
Dimasukanya stress berat dalam DSM sebagai factor penyebab signifikan PTSD dimaksudkan untuk menunjukkan pengakuan resmi bahwa penyebab PTSD yang utama adalah peristiwa yang terjadi, bukan yang bersangkutan. Terlepas dari penyimpulan secara impulsive bahwa sesorang akan baik-baik saja seandainya ia terbuat dari material yang lebih keras, dalam definisi ini pentingnya situasi yang menyebabkan trauma secara resmi diakut (Haley, 1978). Namun, banyak orang yang menegalami kejadian traumatis, tetapi tetapi tidak menderita PTSD. Sebagai contoh, dalam suatu dalam suatu studi, hanya 25% orang yang mengalami kejadian traumatis yang menyebabkan cidera fisik kemudian menderita PTSD (Shalev dkk., 1996). Dengan demikian kejadian itu kejadian itu sendiri tidak bisa menjadi penyebab tunggal PTSD. Penelitian dewasa ini telah mengarah pada pencarian factor-faktor yang membedakan antara orang-orang yang menderita dan tidakmenderita PTSD setelah mengalami stress berat.
Masalah lain yang sering dihubungkan dengan PTSD adalah gangguan anxeitas lain, depresi, kemarahan , rasa bersalah, penyalahgunaan zat (mengobati diri sendiri untuk meringankan distress), masalah perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, disfungsi seksual, dan hendaya dalam pekerjaan (Bremer dkk., 1996; Jacobsen, Southwick, &Kosten, 2001; Zatzick dkk., 1997). Pikiran dan rencana untuk bunuh diri umum terjadi, seperti juga insiden ledakan kekerasan dan masalak psikofisiologis yang behubugan dengan stress, seperti sakit punggung bawah, sakit kepala, dan gangguan system pencernaan (Hobfoll dkk., 1991).
Daftar Pustaka
Davison, Gerald C, Neale, John M, Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wade & Tavris. 2007. Psikologi 9th edition. Jakarta : Erlangga
0 komentar:
Posting Komentar