Select Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
use your language

Kamis, 13 Desember 2012

Keterampilan Sosial dan Penerapannya Dalam Modifikasi Perilaku


A.    Pengertian keterampilan sosial dan penerapannya dalam modifikasi perilaku.

a.      Pengertian
            Keterampilan sosial berasal dari kata terampil dan sosial. Kata keterampilan berasal dari 'terampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar, dari tidak terampil menjadi terampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan ketrampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal.
Social Skill atau keterampilan sosial memiliki penafsiran akan arti dan maknanya. Menurut beberapa ahli yang memberikan pendapatnya tentang social skill atau keterampilan sosial adahal sebagai berikut ;
 Merrel (2008) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai perilaku spesifik, inisiatif, mengarahkan pada hasil sosial yang diharapkan sebagai bentuk perilaku seseorang.
Combs & Slaby (Gimpel dan Merrell, 1998) memberikan pengertian  keterampilan sosial (Social Skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara social maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain.
 Hargie et.al (1998) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial (Social Skill) akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain.
Libet dan Lewinsohn (Cartledge dan Milburn, 1995) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan.
Kelly (Gimpel dan  Merrel, 1998) memberikan  keterampilan sosial (Social Skill) sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Matson (Gimpel dan Merrel, 1998) mengatakan bahwa keterampilan sosial (Social Skill), baik secara langsung maupun tidak membantu seseorang a untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya  Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya. 
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah sebuah alat yang terdiri dari kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial.

b.      Penerapan keterampilan sosial.
Pelatihan ketrampilan sosial merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu penderita kesulitan bergaul. Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan teknik psikoterapi lainnya.
Prinsip – prinsip dalam pelatihan keterampilan sosial, individu dianggap sebagai orang yang sudah tahu atau memiliki suatu ketrampilan tapi dalarn porsi yang kurang. Dalam teknik 'belajar untuk orang dewasa' terdapat beberapa prinsip-prinsip yang mendukung terjadinya perubahan perilaku. Prinsip ini antara lain adalah bahwa orang dewasa berbeda dengan anak-anak. Orang dewasa menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan pengalaman sehingga mereka ingin terlibat dalam proses belajar itu. Keterlibatan yang aktif di dalam pengaiaman belajar dapat menjadi modal terjadinva transfer belajar yang optimal dan bukan hanya sebagai penerima informasi yang pasif. Dengan demikian dalam pelatihan, tanggung jawab atas proses belajar sepenuhnva berada di tangan peserta bukan pada pelatih.

Sebagaimana proses belajar, yang menjadi sasaran bukan hanya aspek intelektual atau kognitif saja, akan tetapi juga aspek emosi atau afektif dan psikomotor. Perubahan yang meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta dilibatkan dalam proses pelatihan melalui bermain peran yang harus dilakukan setelah melihat demonstrasi atau modelling beberapa ketrampilan. Demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang realistis serta relevan dengan peserta.

Prinsip yang terakhir dan tak kalah penting dalarn pelatihan adalah bahwa sesungguhnya proses belajar itu adalah suatu pengalaman yang dimulai dari peserta pela-tihan dan berlangsung dalam diri peserta, karena itu peserta tidak diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, ketrampilan, perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Budilarasati, 1992).

Kemudian ada Pelatihan ketrampilan psikologik diciptakan sebagai alternatif bagi pemberi bantuan atau konselor terhadap masyarakat golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan data keberhasilan psikoterapi yang dikumpulkan di Amerika Serikat (dalam Goldstein, 1981), psikoterapi sering gagal atau kurang berhasil apabila diterapkan pada klien dari masyarakat golongan ini. Data ini menunjukkan bahwa keberhasilan psikoterapi sangat ditentukan oleh ciri-ciri klien yang tergolong dalam YAVIS. Yavis maksudnya adalah psikoterapi akan lebih berhasil apabila kliennya adalah golongan muda atau Young, Attractive, Verbal, atau memiliki ketrampilan verbal, intelligent atau klien yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai, dan Successful. Di samping itu pada umumnya psikoterapi lebih diarahkan pada klien dari kelas sosial menengah ke atas (Schofield, dalam Goldstein, 1981). Untuk klien yang bukan YAVIS ini biasanya psikoterapi kurang disarankan.
Usaha mencari intervensi alternatif yang dapat digunakan untuk kelompok non-YAVIS ini mendorong beberapa ahli untuk menyusun satu teknik yang diduga dapat efektif membantu klien golongan ini. Teknik-teknik itu antara lain prosedur belajar terstruktur, yang memuat berbagai pelatihan-pelatihan ketrampilan psikologik.
Ada banyak pelatihan ketrampilan psikologik yang dikemukakan oleh Goldstein (1981), yaitu pelatihan pemecahan masalah yang kreatif, pelatihan asertivitas, pelatihan wawancara pekerjaan, dan pelatihan ketrampilan sosial.
Pada prinsipnya pelatihan ketrampilan psikologik ini dapat dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu:
(1) Modelling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik, detil, dan sering.
(2) Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik interaksi yang diperankan model.
(3) Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan bahk. Umpan balik ini harus diberikan segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia menjalankan langkahlangkah pelatihan ini.
(4) Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari.

c.       Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk Terapi Kesulitan Bergaul

Ketrampilan sosial meliputi ketrampilan-ketrampilan memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, tukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran kepada orang lain, pemecahan konflik atau masalah, berhubungan atau bekerja sama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin, berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku lain sesuai dengan ketrampilan yang tidak dimiliki oleh klien (Michelson, dkk. 1985). Pelatihan ketrampilan sosial ini diberikan berdasarkan tingkah laku apa saja yang akan diubah dari individu yang bersangkutan (Bulkeley dan Cramer, 1990).
Dalam pelatihan ketrampilan sosial disajikan beberapa model atau contoh tingkah Iaku. Subjek atau klien diminta untuk mengobservasi, kemudian menirukan tingkah laku tersebut. Jadi dalam pelatihan ketrampilan sosial terkandung prinsip-prinsip belajar sosial seperti yang dikemukakan Bandura (dalam Hergenhahn, 1976). Individu melihat, mengobservasi, kemudian menirukan tingkah laku yang diajarkan tersebut. Apabila individu berhasil menirukan tingkah laku tersebut, pelatih akan memberikan pengukuh.
Tugas pelatih dalam pelatihan ini bukanlah membuat interpretasi, refleksi atau memberikan satu pengukuhan saja, tetapi secara aktif pelatih sengaja mengajarkan peri-laku yang diinginkan. Pelatih bukan melakukan intervensi seperti dalam melakukan psikoterapi, tetapi cenderung pada pelatihan. Arah pelatihan ketrampilan ini tertuju pada mengajarkan perilaku yang spesifik, bukan nilai, sikap, ataupun insight dan merupakan pendekatan perilaku yang dirancang untuk mengembangkan tindakan yang terlihat.
Pelatihan ini dapat dilakukan dengan cara bermain peran, menirukan model yang diperankan video, menirukan model yang diperankan teman sebaya, dan setting in-vivo (Bulkeley dan Cramer, 1990). Beberapa teknik yang digunakan dalam pelatihan ketrampilan sosial adalah:
(1) Modelling,
yang dilakukan dengan cara memperlihatkan contoh tentang ketrampilan berperilaku yang spesifik, yang diharapkan dapat dipelajari oleh pela-tih. Model ini dapat langsung disajikan oleh terapis, pemeran atau aktor/aktris, model melalui video, ataupun gabungan dari model yang sesungguhnya dan model video.

(2)Bermain Peran,
dilakukan dengan cara mendengarkan petunjuk yang disajikan model atau melalui video. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan diskusi me-ngenai aktivitas yang dimodelkan. Setelah diskusi selesai, latihan bermain peran dapat dilakukan.

(3) Umpan Balik terhadap Kinerja yang Tepat,                                                       yang dilakukan dengan cara memberi pengukuh terhadap peserta yang menunjukkan kinerja yang tepat, apabila peserta berhasil melakukan peran yang dilatihkan secara in-vivo, maupun apabila peserta mengemukakan target perilaku yang ingin dilakukan.
Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial dapat secara individual maupun kelompok. Untuk pelaksanaan pelatihan dalam kelompok tentu saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Besarnya kelompok hendaknya tidak lebih dari 12 orang (Kelly, 1982; Michelson, dkk. 1985). Kelompok yang terlalu besar akan membawa akibat negatif, karena masing-masing anggota kelompok akan memiliki kesempatan berlatih yang sedikit. Homogenitas kelompok perlu juga dipertimbangkan. Peserta-peserta yang relatif homogen lebih baik daripada yang heterogen. Artinya perbedaan kelemahan dan kelebihan peserta tidak terlalu besar. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebosanan yang mungkin terjadi bagi anggota kelompok yang kemampuannya lebih tinggi, dan menjaga timbulnya rasa rendah diri bagi peserta yang kemampuannya lebih rendah.
Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial ini, dapat dilakukan dalam format terapi, artinya dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan, atau dalam format workshop, yaitu dilakukan dalam waktu satu atau dua hari penuh. Penentuan format ini sangat berkaitan dengan peserta pelatihan. Untuk peserta yang benar-benar mengalami masalah kesulitan bergaul atau problem klinis lainnya, sebaiknya menggunakan format terapi. Pertemuan 2 jam perhari dan dilakukan selama 10-12 kali pertemuan merupakan pilihan yang tepat. Sebaliknya untuk peserta yang hanya ingin meningkatkan ketrampilan atau ingin menambah pengalaman, format workshop 1-2 hari cukup bermanfaat.

B.     Assertive training.
Asertivitas merupakan suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Tujuan dari sikap asertif adalah untuk menyenangkan orang lain dan menghindari konflik dengan segala akibatnya.
Ada empat kategori yang dikelompokkan dalam perilaku asertif (Walker,1996):
  1. Kemampuan untuk berinisiasi dengan memulai percakapan, menyambung dan menghentikan percakapan
  2. Berani berkata “tidak”
  3. Mengajukan suatu pertanyaan dan keinginan
  4. Mengekspresikan perasaan suka dan tidak suka
            Latihan asertif merupakan latihan keterampilan-sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan cepat tersinggung.
Prosedur dasar dalam asertive training :
  1. Mengajarkan perbedaan antara asertif, agresif, non agresif dan sopan.
  2. Membantu individu mengidentifikasi dan menerima hak-hak pribadi dirinya dan orang lain.
  3. Mengurangi hambatan kognitif dan afektif yang menghambat aktualisasi sikap asertif.
  4. Mengembangkan ketrampilan perilaku asertif secara langsung melalui praktek-praktek di dalam pelatihan.
Karakteristik  latihan asertif
  1. Cocok untuk individu yang memiliki kebiasaan respon – cemas (anxiety-response) dalam hubungan interpersonal, yang tidak adaptif, sehingga menghambat untuk mengekspresikan perasaan dan tindakan yang tegas dan tepat.
  2. Latihan asertif terdiri dari 3 komponen, yaitu : Role Playing, Modeling, Social Reward & Coaching
  3. Dalam situasi social dan interpersonal, muncul kecemasan dalam diri individu, seperti:
- Merasa tidak pantas dalam pergaulan social
- Takut untuk ditinggalkan
– Kesulitan mengekspresikan perasaan cinta dan afeksinya terhadap orang-orang disekitarnya.
Tujuan dari latihan asertif ini adalah ;
  1. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain.
  2. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak
  3. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang lain
  4. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dalm berbagai situasi sosial
  5. Menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi
Asumsinya bahwa ;
  1. Kecemasan akan menghambat individu untuk mengekspresikan perasaan dan tindakan yang tegas dan tepat dalam menjalin suatu hubungan social.
  2. Tiap individu memiliki hak (tetapi bukan kewajiban) untuk menyatakan perasaan, fikiran, kepercayaan, dan sikap sesuai keinginannya.
Sehingga teknik ini sangat relevan digunakan pada permasalahan yang menyangkut hubungan social. Misalnya dalam lingkup sekolah, organisasi, dan sebagainya. Dimana seringkali terjadi kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan sopan.
Prinsip dari latihan asertif ini adalah ;
Peran konselor adalah sebagai fasilitator yang bertugas merangsang dan mendorong siswa bersikap lugas atas pikiran dan perasaannya, dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain.
            Adapun manfaat latihan assertif ini berupa ;
  1. Melatih individu yang tidak dapat menyatakan kemarahan dan kejengkelan
  2. Melatih individu yang mempunyai kesulitan untuk berkata tidak dan yang membiarkan orang lain memanfaatkannya
  3. Melatih individu yang merasa bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk menyatakan pikiran, kepercayaan, dan perasaan-perasaannya
  4. Melatih individu yang sulit mengungkapkan rasa kasih dan respon-repon positif yang lain


Prosedur pelaksanaanya sebagai berikut ;
  1. Menentukan serangkaian situasi apa saja yang menimbulkan perasaan atau pikiran sulit bersikap asertif
  2. Konselor dan konseli memerankan peran dalam role playing
  3. Konseli mencoba mempraktekkan keterampilan yang sudah dilatih, pada situasi sebenarnya.
  4. Mendiskusikan kembali hasil penerapan keterampilan pada pertemuan selanjutnya.
Faktor-faktor yang menjadi keasertifitasan individu adalah ;
  1. Mengetahui pikiran dan perasaan diri sendiri.
  2. Berfikir secara realistik.
  3. Berbicara tentang diri sendiri.
  4. Berkomunikasi dengan apa yang anda inginkan.
  5. Bersikap positif terhadap orang lain.
  6. Bebas bela diri.
  7. Mampu berdikari.
  8. Menggunakan jumlah kekuatan yang tepat.
  9. Mengetahui batasan diri sendiri dan orang lain.
INDIKATOR KEASERTIFAN
PESAN-PESAN TUBUH
INDIKATOR
Kontak Mata
Melihat orang lain langsung di matanya, ataupun cukup melihat di antara dua matanya, sedikit di atasnya, sedikit di bawahnya, dan tetap melakukan kontak mata pada saat menyatakan diri
Ekspresi Wajah
Menyatakan emosi positif dan negative anda dengan tepat, tetap dalam keasliannya, seperti tidak tersenyum sewaktu marah
Postur Tubuh
Tidak membungkuk
Gerak-Gerik
Menggunakan gerakan tangan dan lengan untuk membantu menyatakan diri anda dalam cara yang konstruktif
Jarak
Tidak menghindari orang, tidak “tabrak-lari”
Bebas Komunikasi Tubuh Yang Negatif
Seperti: kepala mengeleng-geleng, membanting pintu, mengepalkan tangan sebagai pertanda geram, telunjuk menuding-nuding muka seseorang
Bebas Komunikasi Tubuh Yang Membingungkan
Menarik-narik rambut, mempermainkan jari-jari, mengeser-geserkan telapak kaki ke lantai
PESAN-PESAN SUARA
INDIKATOR
Volume
Keras tetapi layak
Nada
Lugas, tidak mengambil suara “anak kecil”
Kecepatan
Tidak terlalu cepat
Perubahan Nada
Penghadiran perubahan suara yang menekankan pernyataan, tiadanya perubahan nada yang memberi indikasi menyerang ataupun merendahkan




Daftar pustaka

Fauzan, Lutfi. 2007. Assertive Training: Pengembangan Probadi Asertif dan Transaksi Sosial. Depdiknas: UPT BK UM

Kelly, J.A., 1982, Social-Skills Training, A Practical Guide for Interventions. New York: Springer Publishing Co. Meichenbaum, D., 1979, Cognitive-Behavioral Mod~flcation. New York: Plenum Press.

Ramadhani, Neila. Pelatihan keterampilan sosial untuk terapi kesulitan bergaul
                Miltenberger, 2004, Assertive skills. Stratum: Stratum Press.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook comment