A. Pengertian keterampilan sosial dan penerapannya dalam modifikasi
perilaku.
a. Pengertian
Keterampilan sosial berasal dari kata terampil dan sosial.
Kata keterampilan berasal dari 'terampil' digunakan di sini karena di dalamnya
terkandung suatu proses belajar, dari tidak terampil menjadi terampil. Kata
sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu
kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan ketrampilan
sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan
berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil
menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam
hubungan formal maupun informal.
Social Skill atau keterampilan sosial memiliki penafsiran akan
arti dan maknanya. Menurut beberapa ahli yang memberikan pendapatnya tentang
social skill atau keterampilan sosial adahal sebagai berikut ;
Merrel (2008) memberikan
pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai perilaku spesifik,
inisiatif, mengarahkan pada hasil sosial yang diharapkan sebagai bentuk
perilaku seseorang.
Combs & Slaby (Gimpel dan Merrell, 1998) memberikan pengertian
keterampilan sosial (Social Skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan
orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat
diterima secara social maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi
dirinya dan orang lain.
Hargie et.al (1998)
memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai kemampuan
individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal
maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di
mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial
(Social Skill) akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif
dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain.
Libet dan Lewinsohn (Cartledge dan Milburn, 1995) memberikan
pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai kemampuan yang kompleks
untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh
lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh
lingkungan.
Kelly (Gimpel dan Merrel, 1998) memberikan
keterampilan sosial (Social Skill) sebagai perilaku-perilaku yang
dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal
dalam lingkungan. Matson (Gimpel dan Merrel, 1998) mengatakan bahwa
keterampilan sosial (Social Skill), baik secara langsung maupun tidak membantu
seseorang a untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat
dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya Keterampilan-keterampilan
sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan
orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau
keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima
kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah sebuah alat yang terdiri dari
kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun
nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta
kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk
dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial.
b.
Penerapan
keterampilan sosial.
Pelatihan ketrampilan sosial merupakan salah satu teknik
modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu
penderita kesulitan bergaul. Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal
maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan teknik psikoterapi
lainnya.
Prinsip – prinsip dalam
pelatihan keterampilan sosial, individu dianggap sebagai orang yang sudah tahu
atau memiliki suatu ketrampilan tapi dalarn porsi yang kurang. Dalam teknik
'belajar untuk orang dewasa' terdapat beberapa prinsip-prinsip yang mendukung
terjadinya perubahan perilaku. Prinsip ini antara lain adalah bahwa orang dewasa berbeda dengan anak-anak.
Orang dewasa menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan pengalaman sehingga mereka
ingin terlibat dalam proses belajar itu. Keterlibatan yang aktif di dalam
pengaiaman belajar dapat menjadi modal terjadinva transfer belajar yang optimal
dan bukan hanya sebagai penerima informasi yang pasif. Dengan demikian dalam
pelatihan, tanggung jawab atas proses belajar sepenuhnva berada di tangan
peserta bukan pada pelatih.
Sebagaimana proses belajar, yang menjadi sasaran bukan hanya aspek
intelektual atau kognitif saja, akan tetapi juga aspek emosi atau afektif dan
psikomotor. Perubahan yang meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila
peserta dilibatkan dalam proses pelatihan melalui bermain peran yang harus
dilakukan setelah melihat demonstrasi atau modelling beberapa ketrampilan.
Demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang
realistis serta relevan dengan peserta.
Prinsip yang terakhir dan tak kalah penting dalarn pelatihan
adalah bahwa sesungguhnya proses belajar
itu adalah suatu pengalaman yang dimulai dari peserta pela-tihan dan
berlangsung dalam diri peserta, karena itu peserta tidak diajari tetapi
diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, ketrampilan, perilaku yang lebih
baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Budilarasati, 1992).
Kemudian ada Pelatihan ketrampilan psikologik diciptakan sebagai
alternatif bagi pemberi bantuan atau konselor terhadap masyarakat golongan
sosial ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan data keberhasilan psikoterapi
yang dikumpulkan di Amerika Serikat (dalam Goldstein, 1981), psikoterapi sering
gagal atau kurang berhasil apabila diterapkan pada klien dari masyarakat
golongan ini. Data ini menunjukkan bahwa keberhasilan psikoterapi sangat
ditentukan oleh ciri-ciri klien yang tergolong dalam YAVIS. Yavis maksudnya
adalah psikoterapi akan lebih berhasil apabila kliennya adalah golongan muda
atau Young, Attractive, Verbal, atau memiliki ketrampilan verbal, intelligent
atau klien yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai, dan Successful. Di
samping itu pada umumnya psikoterapi lebih diarahkan pada klien dari kelas
sosial menengah ke atas (Schofield, dalam Goldstein, 1981). Untuk klien yang
bukan YAVIS ini biasanya psikoterapi kurang disarankan.
Usaha mencari intervensi alternatif yang dapat digunakan untuk
kelompok non-YAVIS ini mendorong beberapa ahli untuk menyusun satu teknik yang
diduga dapat efektif membantu klien golongan ini. Teknik-teknik itu antara lain
prosedur belajar terstruktur, yang memuat berbagai pelatihan-pelatihan
ketrampilan psikologik.
Ada banyak pelatihan ketrampilan psikologik yang dikemukakan oleh
Goldstein (1981), yaitu pelatihan pemecahan masalah yang kreatif, pelatihan
asertivitas, pelatihan wawancara pekerjaan, dan pelatihan ketrampilan sosial.
Pada prinsipnya pelatihan ketrampilan psikologik ini dapat
dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu:
(1) Modelling,
yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik,
detil, dan sering.
(2) Role
playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat
kesempatan untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai
dengan topik interaksi yang diperankan model.
(3) Performance
feedback, yaitu tahap pemberian umpan bahk. Umpan balik ini harus diberikan
segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu
seberapa baik ia menjalankan langkahlangkah pelatihan ini.
(4) Transfer
training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama
pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk
Terapi Kesulitan Bergaul
Ketrampilan sosial meliputi ketrampilan-ketrampilan memberikan
pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan
orang lain, tukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran kepada orang
lain, pemecahan konflik atau masalah, berhubungan atau bekerja sama dengan
orang lain yang berlainan jenis kelamin, berhubungan dengan orang yang lebih
tua dan lebih tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku lain sesuai dengan
ketrampilan yang tidak dimiliki oleh klien (Michelson, dkk. 1985). Pelatihan
ketrampilan sosial ini diberikan berdasarkan tingkah laku apa saja yang akan
diubah dari individu yang bersangkutan (Bulkeley dan Cramer, 1990).
Dalam pelatihan ketrampilan sosial disajikan beberapa model atau
contoh tingkah Iaku. Subjek atau klien diminta untuk mengobservasi, kemudian
menirukan tingkah laku tersebut. Jadi dalam pelatihan ketrampilan sosial
terkandung prinsip-prinsip belajar sosial seperti yang dikemukakan Bandura
(dalam Hergenhahn, 1976). Individu melihat, mengobservasi, kemudian menirukan
tingkah laku yang diajarkan tersebut. Apabila individu berhasil menirukan
tingkah laku tersebut, pelatih akan memberikan pengukuh.
Tugas pelatih dalam pelatihan ini bukanlah membuat interpretasi,
refleksi atau memberikan satu pengukuhan saja, tetapi secara aktif pelatih
sengaja mengajarkan peri-laku yang diinginkan. Pelatih bukan melakukan
intervensi seperti dalam melakukan psikoterapi, tetapi cenderung pada
pelatihan. Arah pelatihan ketrampilan ini tertuju pada mengajarkan perilaku
yang spesifik, bukan nilai, sikap, ataupun insight dan merupakan pendekatan
perilaku yang dirancang untuk mengembangkan tindakan yang terlihat.
Pelatihan ini dapat dilakukan dengan cara bermain peran, menirukan
model yang diperankan video, menirukan model yang diperankan teman sebaya, dan
setting in-vivo (Bulkeley dan Cramer, 1990). Beberapa teknik yang digunakan
dalam pelatihan ketrampilan sosial adalah:
(1) Modelling,
yang dilakukan dengan
cara memperlihatkan contoh tentang ketrampilan berperilaku yang spesifik, yang
diharapkan dapat dipelajari oleh pela-tih. Model ini dapat langsung disajikan
oleh terapis, pemeran atau aktor/aktris, model melalui video, ataupun gabungan
dari model yang sesungguhnya dan model video.
(2)Bermain Peran,
dilakukan dengan cara
mendengarkan petunjuk yang disajikan model atau melalui video. Setelah itu
biasanya dilanjutkan dengan diskusi me-ngenai aktivitas yang dimodelkan.
Setelah diskusi selesai, latihan bermain peran dapat dilakukan.
(3) Umpan Balik terhadap Kinerja yang
Tepat,
yang dilakukan dengan cara memberi pengukuh terhadap peserta yang
menunjukkan kinerja yang tepat, apabila peserta berhasil melakukan peran yang
dilatihkan secara in-vivo, maupun apabila peserta mengemukakan target perilaku
yang ingin dilakukan.
Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial dapat secara individual
maupun kelompok. Untuk pelaksanaan pelatihan dalam kelompok tentu saja ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Besarnya kelompok hendaknya tidak lebih
dari 12 orang (Kelly, 1982; Michelson, dkk. 1985). Kelompok yang terlalu besar
akan membawa akibat negatif, karena masing-masing anggota kelompok akan
memiliki kesempatan berlatih yang sedikit. Homogenitas kelompok perlu juga dipertimbangkan.
Peserta-peserta yang relatif homogen lebih baik daripada yang heterogen.
Artinya perbedaan kelemahan dan kelebihan peserta tidak terlalu besar. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kebosanan yang mungkin terjadi bagi anggota kelompok
yang kemampuannya lebih tinggi, dan menjaga timbulnya rasa rendah diri bagi
peserta yang kemampuannya lebih rendah.
Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial ini, dapat dilakukan
dalam format terapi, artinya dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan, atau
dalam format workshop, yaitu dilakukan dalam waktu satu atau dua hari penuh.
Penentuan format ini sangat berkaitan dengan peserta pelatihan. Untuk peserta
yang benar-benar mengalami masalah kesulitan bergaul atau problem klinis
lainnya, sebaiknya menggunakan format terapi. Pertemuan 2 jam perhari dan
dilakukan selama 10-12 kali pertemuan merupakan pilihan yang tepat. Sebaliknya
untuk peserta yang hanya ingin meningkatkan ketrampilan atau ingin menambah
pengalaman, format workshop 1-2 hari cukup bermanfaat.
B. Assertive training.
Asertivitas merupakan
suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan
dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta
perasaan orang lain. Tujuan dari sikap asertif adalah untuk menyenangkan orang
lain dan menghindari konflik dengan segala akibatnya.
Ada empat kategori yang dikelompokkan dalam perilaku asertif (Walker,1996):
- Kemampuan
untuk berinisiasi dengan memulai percakapan, menyambung dan menghentikan
percakapan
- Berani
berkata “tidak”
- Mengajukan
suatu pertanyaan dan keinginan
- Mengekspresikan
perasaan suka dan tidak suka
Latihan asertif merupakan latihan
keterampilan-sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak
mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain
merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan
cepat tersinggung.
Prosedur dasar dalam asertive training :
- Mengajarkan
perbedaan antara asertif, agresif, non agresif dan sopan.
- Membantu
individu mengidentifikasi dan menerima hak-hak pribadi dirinya dan orang
lain.
- Mengurangi
hambatan kognitif dan afektif yang menghambat aktualisasi sikap asertif.
- Mengembangkan
ketrampilan perilaku asertif secara langsung melalui praktek-praktek di
dalam pelatihan.
Karakteristik
latihan asertif
- Cocok
untuk individu yang memiliki kebiasaan respon – cemas (anxiety-response)
dalam hubungan interpersonal, yang tidak adaptif, sehingga menghambat
untuk mengekspresikan perasaan dan tindakan yang tegas dan tepat.
- Latihan
asertif terdiri dari 3 komponen, yaitu : Role Playing, Modeling, Social
Reward & Coaching
- Dalam
situasi social dan interpersonal, muncul kecemasan dalam diri individu,
seperti:
- Merasa tidak pantas
dalam pergaulan social
- Takut untuk ditinggalkan
– Kesulitan mengekspresikan perasaan cinta
dan afeksinya terhadap orang-orang disekitarnya.
Tujuan dari latihan asertif ini adalah ;
- Mengajarkan
individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga
memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain.
- Meningkatkan
keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah
pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau
tidak
- Mengajarkan
pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa
sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang lain
- Meningkatkan
kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan
enak dalm berbagai situasi sosial
- Menghindari
kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi
Asumsinya bahwa ;
- Kecemasan
akan menghambat individu untuk mengekspresikan perasaan dan tindakan yang
tegas dan tepat dalam menjalin suatu hubungan social.
- Tiap
individu memiliki hak (tetapi bukan kewajiban) untuk menyatakan perasaan,
fikiran, kepercayaan, dan sikap sesuai keinginannya.
Sehingga teknik ini sangat relevan
digunakan pada permasalahan yang menyangkut hubungan social. Misalnya dalam
lingkup sekolah, organisasi, dan sebagainya. Dimana seringkali terjadi
kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan sopan.
Prinsip dari latihan asertif ini adalah ;
Peran konselor adalah
sebagai fasilitator yang bertugas merangsang dan mendorong siswa bersikap lugas
atas pikiran dan perasaannya, dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain.
Adapun manfaat latihan assertif ini berupa ;
- Melatih
individu yang tidak dapat menyatakan kemarahan dan kejengkelan
- Melatih
individu yang mempunyai kesulitan untuk berkata tidak dan yang membiarkan
orang lain memanfaatkannya
- Melatih
individu yang merasa bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk menyatakan
pikiran, kepercayaan, dan perasaan-perasaannya
- Melatih
individu yang sulit mengungkapkan rasa kasih dan respon-repon positif yang
lain
Prosedur pelaksanaanya sebagai berikut ;
- Menentukan
serangkaian situasi apa saja yang menimbulkan perasaan atau pikiran sulit
bersikap asertif
- Konselor
dan konseli memerankan peran dalam role playing
- Konseli
mencoba mempraktekkan keterampilan yang sudah dilatih, pada situasi
sebenarnya.
- Mendiskusikan
kembali hasil penerapan keterampilan pada pertemuan selanjutnya.
Faktor-faktor yang menjadi keasertifitasan
individu adalah ;
- Mengetahui
pikiran dan perasaan diri sendiri.
- Berfikir
secara realistik.
- Berbicara
tentang diri sendiri.
- Berkomunikasi
dengan apa yang anda inginkan.
- Bersikap
positif terhadap orang lain.
- Bebas bela
diri.
- Mampu
berdikari.
- Menggunakan
jumlah kekuatan yang tepat.
- Mengetahui
batasan diri sendiri dan orang lain.
INDIKATOR KEASERTIFAN
PESAN-PESAN TUBUH
|
INDIKATOR
|
Kontak Mata
|
Melihat orang lain langsung di matanya, ataupun cukup melihat di antara
dua matanya, sedikit di atasnya, sedikit di bawahnya, dan tetap melakukan
kontak mata pada saat menyatakan diri
|
Ekspresi Wajah
|
Menyatakan emosi positif dan negative anda dengan tepat, tetap dalam
keasliannya, seperti tidak tersenyum sewaktu marah
|
Postur Tubuh
|
Tidak membungkuk
|
Gerak-Gerik
|
Menggunakan gerakan tangan dan lengan untuk membantu
menyatakan diri anda dalam cara yang konstruktif
|
Jarak
|
Tidak menghindari orang, tidak “tabrak-lari”
|
Bebas Komunikasi Tubuh Yang Negatif
|
Seperti: kepala mengeleng-geleng, membanting pintu, mengepalkan tangan
sebagai pertanda geram, telunjuk menuding-nuding muka seseorang
|
Bebas Komunikasi Tubuh Yang Membingungkan
|
Menarik-narik rambut, mempermainkan jari-jari,
mengeser-geserkan telapak kaki ke lantai
|
PESAN-PESAN SUARA
|
INDIKATOR
|
Volume
|
Keras tetapi layak
|
Nada
|
Lugas, tidak mengambil suara “anak kecil”
|
Kecepatan
|
Tidak terlalu cepat
|
Perubahan Nada
|
Penghadiran perubahan suara yang menekankan pernyataan, tiadanya
perubahan nada yang memberi indikasi menyerang ataupun merendahkan
|
Daftar pustaka
Fauzan, Lutfi. 2007. Assertive
Training: Pengembangan Probadi Asertif dan Transaksi Sosial. Depdiknas:
UPT BK UM
Kelly, J.A., 1982, Social-Skills Training, A Practical Guide
for Interventions. New York: Springer Publishing Co. Meichenbaum, D., 1979,
Cognitive-Behavioral Mod~flcation. New York: Plenum Press.
Ramadhani, Neila. Pelatihan
keterampilan sosial untuk terapi kesulitan bergaul
Miltenberger, 2004, Assertive skills. Stratum: Stratum
Press.
0 komentar:
Posting Komentar