Select Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
use your language

Kamis, 10 November 2011

Kecerdasan Emosional


A.     Definisi kecerdasan emosional
Sebelum dikenalkannya istilah kecerdasan emosional oleh Peter Salorey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire pada tahun 1990 dan dimasyarakatkan oleh Daniel Goleman (1995), kecerdasan diartikan dengan amat sempit, yaitu sebagai kemampuan menyerap, mengolah, mengekspresikan, mengantisipasi dan mengembangkan hal-hal yang bersangkut paut dengan pengetahuan, ilmu dan teknologi, dengan kata lain kecerdasan diartikan dengan “Kemampuan berfikir” yang hasilnya dapat diukur dengan angka-angka yang sering disebut dengan IQ, yang mengukur baik kemampuan verbal maupun non verbal, termasuk ingatan, perbendaharaan kata, wawasan, abtraksi, logika, ketrampilan motorik visual (faktor intelegensi umum) yang biasanya berkorelasi dengan ujian bakat seperti ujian masuk Perguruan Tinggi dan sebagainya. Namun pada dasa warsa terakhir abad 20 ini, konsep kecerdasan tersebut dikembangkan dengan pengertian yang lebih luas, yaitu kecerdasan emosional.
Para Psikolog telah mengusulkan beberapa definisi kecerdasan emosional (EI), akan tetapi maksud awalnya adalah untuk memahami bagaimana beberapa orang yang begitu pintar dalam beberapa hal (memiliki kecerdasan teori) bisa begitu bodoh dengan cara lain (kurangnya tingkat kecerdasan dalam praktik). Seseorang dapat memiliki kecerdasan teori tetapi tidak dalam prakteknya karena kurangnya kesadaran emosional dan kontrol (kecerdasan emosional).
Sebagai contoh seorang mahasiswa di perguruan tinggi memiliki banyak kesulitan dalam menguasai mata kuliah, tetapi ia memiliki jaringan besar dalam pertemanannya. Dia diundang di setiap pesta dan merupakan anak paling trendi dikelasnya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai anak yang baik oleh orang dewasa di lingkungannya. Dia membuat semua keputusan hidupnya dengan tepat, meskipun ia memiliki tantangan atau masalah dalam akademisnya.
Adapun ciri-ciri orang yang memiliki tingkat emosional cerdas yaitu :
Ø  Berhasil mengelola situasi sulit
Ø  Mengekspresikan diri dengan jelas
Ø  Mendapatkan rasa hormat dari orang lain
Ø  Tetap tenang dibawah tekanan
Ø  Tahu bagaimana mengatakan “benar” dengan bahasa yang benar
Ø  Mengelola diri secara efektif (mempengaruhi) saat bernegosiasi
Ø  Memotivasi diri untuk mendapatkan sesuatu
Ø  Tahu bagaimana menjadi positif bahkan disaat mengalami situasi yang sulit
Meskipun perilaku tersebut tidak sesuai dalam setiap definisi formal kecerdasan emosional, mereka mewakili perilaku khas untuk orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi. Orang bisa meningkatkan kecerdasan emosional mereka namun tidak semua orang bisa menjadi superstar di semua bidang.
Adapun beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian kecerdasan emosional ini, antara lain :
Ø  Dr. Patricia Patton (1997)
kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik singgasana kemampuan intelektual. Makna yang dikemukakan di atas secara implisif  bisa ditangkap adanya faktor-faktor lain yang sangat berperan terhadap keberhasilan seseorang diluar faktor IQ yang selama ini diagung-agungkan.
Ø  Salorey dan Meyer (1996)
kecerdasan emosional sebagai suatu himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan untuk membimbing pikiran dan tindakan. Mereka memberikan batasan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan intelek.
Ø  Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang individu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Dibukunya Goleman (1997) menguraikan tentang ciri-ciri kecerdasan emosi yang mencakup : kesadaran diri dan dorongan hari, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecerdasan sosial. Kecerdasan social ini  memcerminkan kemampuan seseorang untuk memahami bagaimana orang lain merasakan dan sampai batas tertentu mengelola emosi serta perilaku orang disekitarnya. Jika orang tersebut hidup sebagai seorang pertapa, ia mungkin tidak peduli pada apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.
Bahkan bila orang tersebut adalah seorang pengembala dan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan gembalaannya, orang tersebut tentunya tidak banyak menggunakan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional tidak hanya tentang bersikap baik kepada orang-orang, namun juga mengenali perspektif orang lain dan menggunakan emosi secara tepat. Jadi dalam beberapa kasus, kecerdasan emosional berarti memiliki ketangguhan dalam menghadapi orang lain atau menunjukkan pada orang lain emosi kita. Namun, pada dasarnya kecerdasan emosional lebih berfokus pada kemampuan untuk membaca emosi orang lain dan menggunakan emosi secara tepat.
Berkenaan dengan adanya dua kecerdasan itu, yaitu kecerdasan intelektual yang menyatu pada kemampuan berfikir, dan kecerasan emosional yang menyatu pada kemampuan beremosi, dapat dikatakan bahwa dimungkinkan orang-orang yang IQ tinggi mengalami kegagalan, sedangkan atau mereka yang ber IQ sedang –sedang saja dapat mencapai sukses besar. Goleman dalam bukunya juga menyatakan bahwa prosentase kontribusi IQ dalam menunjang kesuksesan seseorang tak lebih dari 20 persen didukung oeh faktor lainnya, termasuk kecerdasan emosional.
Kedua jenis kecerdasan merupakan kekayaan yang tidak ternilai bagi individu yang tidak bersangkutan, pengembangan dan penggunaan secara optimal dan seimbang akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kesuksesan seseorang ( di samping kuasanya Tuhan ).
Dan yang lebih menarik adalah bahwa IQ sangat di pengaruhi oleh faktor keturunan tetapi EQ (Kecerdasan Emosional ) bisa di latih dan di kembangkan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan pendidikan dan asuhan maupun perlakuan agar mereka mampu mengembangkn kecakapan-kecakapan emosionalnya dan pada akhirnya mampu membuka peluangnya lebih besar untuk mencapai keberhasilan.

B.     Pengukuran Emosi
Pengukuran kecerdasan emosional ( Emosional Quotient ) sebagaimana yang di lakukan stanford-Briet dan uji kecerdasan yang di lakukan olehWeeksler ( Weeksler Intellegence Scales ) belumlah banyak di lakukan orang. Para ilmuwan sekarang memahami bahwa menjadi sangat pintar dalam satu atau dua bidang tidak berarti bahwa pintar dalam segala bidang. Anda bisa sangat cerdas dalam akademis tetapi memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Menurut Steven J. Stein, PhD dalam bukunya Emosional Intelligence for Dummies mengatakan bahwa para psikolog menggunakan beberapa test untuk mengukur kecerdasan emosional. Test tersebut umumnya terbagi dalam 3 kategori :
a.       Laporan tes diri, membandingkan tanggapan anda ke data base ribuan orang lain dan menutupi area yang mencakup bagaimana anda melihat diri anda berurusan dengan situasi sulit, bagaimana anda cenderung untuk berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana anda menggambarkan suasana hati anda saat itu. Yang paling umum digunakan adalah tes EQ-I Self Report.
b.      Penilaian 360 derajat, mencakup persepsi orang lain. Orang yang tahu anda dari perspektif yang berbeda-beda baik itu bos anda, pasangan anda, bawahan anda, dan semua laporan tentang bagaimana mereka melihat anda berprilaku sama dengan penilaian anda sendiri terhadap diri anda. Para ahli psikologi umumnya menggunakan penilaian tes 360 derajat yaitu EQ-360.
c.       Penilaian kerja, yang terstruktur seperti tes IQ. Tes ini mengukur kecerdasan emosi sebagai kemampuan. Orang yang memakai tes ini, penilaian mungkin akan diminta untuk mengenali emosi dalam gambar orang, pilih tanggapan terhadap situasi kehidupan yang sulit, atau menunjukkan pemahaman prinsip-prinsip dasar tentang emosi. Para professional menggunakan uji membandingkan skor subjek pada item ini ke ribuan orang lain yang telah menyelesaikan tes tersebut. Yang paling umum digunakan adalah hasil penilaian tes MSCEIT.
Selain itu, dari kepustakaan yang ada saat ini ( 2000 ) barulah Cooper dan Sowaf sebagaimana di sampaikan johana E Prawitasari ( peneliti UGM ) bahwa sudah mengembangkan pengukuran kecerdasan emosi untuk para eksekutif dalam mengelola organisasi. Mereka mengembangkan 21 skala untuk menemukan EQ seorang ekskutif.
Ø  Bagian I terdiri dari skala I sampai dengan 3 yaitu pernyataan tentang peristiwa hidup yang menimbulkan ketegangan, tekanan kerja dan tekanan pribadi;
Ø  Bagian II berisi skala 4 sampai dengan II, pernyataan tentang kenekatan emosi, ekpresi emosi dankecerdasan emosi orang lain.
Ø  Bagian III berisi skala 7 sampai dengan 11, pernyataan dalam skala-skala itu meliputi intensiolitas, kreatifitas, kelenturan hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan kontruksif.
Ø  Bagian IV mengukur nilai dan keyakinan EQ dalam skala 12 sampai dengan skala 17. Pernyataan-pernyataan dalam skala itu menyangkut keharuan, optimisme, intuisi, radius, kepercayaan, kekuatan pribadi dan integritas.
Ø  Bagian V terdiri atas skala 18 sampai dengan 21 yang berisi tentang kesehatan umum, kualitas hidup, rasio hubungan dankinerja optimal.
Angka-angka yang di peroleh dari skala-skala itu di bandingkan dengan penilaian melalui kisi-kisi pada peta EQ. Dalam ruang lingkup yang lebih luas misalnya mengukur tentang empati, keramahan, percaya diri atau sikap hormat pada orang lain, kehidupan pribadi dan sosial yang sejuk semangat tinggi, aktif mengendalikan amarah dsb.
Sebagaimana yang di akui sendiri oleh Goleman, belum ada pengukuran baku untuk menentukan kecerdasan emosi tersebut. Tapi penerapan kecerdasan emosi bagi kehidupan bisa di latihkan dan di lakukan, sebagaimana yang di tulis dalam buku Daniel Goleman ( Emotional Intelegence, 1995 ) dan di uraikan lebih operasional oleh Lawrence E Shapiro ( How to Raise A Child With a High EQ, 1997 )
Disamping itu, kecerdasan emosi juga dapat diukur dari beberapa aspek-aspek yang ada. Goleman(2001, p.42-43) mengemukakan lima kecakapan dasar dalam kecerdasan Emosi,yaitu:
a.      Self awareness( Mengenali Emosi Diri )
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri membuat kita lebih waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi
b.      Self management (Mengelola Emosi)
Yaitu merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata hati, untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari. Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
c.       Motivation
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
d.      Empati (social awareness)
Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,mampu memahami perspektif orang lain, dan menimbulkan hubungan saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. Menurut Goleman, kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
e.       Relationship managemen  ( Membina Hubungan)
Merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan menciptakan serta mempertahankan hubungan dengan orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar sesama.



C.     Pro dan Kontra tentang kecerdasan emosional
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Daniel Goleman (1999), adalah salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ).
Mengingat pentingnya peran emosi dalam kehidupan, tidaklah mengherankan kalau sebagian keyakinan tradisional tentang emosi yang telah berkembang selama ini bertahan kukuh tanpa informasi yang tepat untuk menunjang ataupun menentangnya–sebagai contoh ada keyakinan yang telah diterima secara luas bahwa sebagian orang dilahirkan dengan sifat yang lebih emosional dibanding yang lainnya. Konsekuensinya, sudah menjadi kenyataan yang diterima masyarakat bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah karakteristik ini. Pada zaman dulu perbedaan emosionalitas ini dinyatakan sebagai hasil dari perbedaan keadaan jasmani, dan pendapat mutakhir mengatakan bahwa perbedaan emosionalitas merupakan akibat dari perbedaan dalam kelenjar endokrin.(Elizabeth B. Hurlock, 1997, hal 210)
Dari kedua pandangan awam tersebut dapat dipahami, bahwa perbedaan emosionalitas ini bersifat genetik atau (diturunkan). Nampaknya keyakinan awam tersebut tidak bisa diubah sebelum bukti ilmiah diperoleh, bahkan keyakinan telah bertahan kuat hingga mempergauli cara orang tua dan guru (para pendidik) yang mempunyai peran pengganti dalam bereaksi terhadap emosi anak.
Namun berkat penelitian para pakar dalam berbagai bidang, khususnya para psikologi menunjukan bahwa sebenarnya faktor genetik bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi emosionalitas anak, terdapat faktor lainnya yang sangat dominan, bahkan menentukan emosionalitas anak, yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini meliputi berbagai hal lainnya seperti lingkungan keluarga sebagai lingkungan yang pertama kali dapat mempengaruhi perkembangan emosionalitas anak, lingkungan sekolah, serta lingkungan masyarakat.
Di samping itu berbeda dengan IQ yang penelitiannya telah berumur hampir seratus tahun atas ratusan ribu orang, kecerdasan Emosional (EQ) ini merupakan konsep baru. Sampai sekarang belum ada yang dapat mengemukakan dengan tepat sejauh mana variasi yang ditimbulkannya atas perjalanan hidup seseorang. Tetapi data yang ada mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya, dan terkadang lebih ampuh daripada IQ. (Goleman, 1995)

D.     Pro dan Kontra Teori Daniel Goleman
Pendapat Goleman mendapatkan banyak tanggapan pro dan kontra di kalangan para Psikolog. Beberapa Psikolog memandang pendapat Goleman sangat penting bagi pengembangan keterampilan atau keahlian dalam suatu pekerjaan, sementara yang lain menganggap bahwa validitas EQ yang menunjang terbentuknya suatu keterampilan dan keahlian belum terbukti. Ada juga yang tidak sependapat bahwa EQ dapat diajarkan. Bagi mereka hanya kemampuan kognitif dan ketrampilan teknis yang merupakan hal utama yang dapat membuat seseorang menjadi sukses dalam pekerjaan.
Edward Gordon, yang mengatakan bahwa EQ lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan "mood" (suasana hati) yang tidak dapat diubah. Menurut Gordon, perbaikan kemampuan analisis dan kemampuan kognitif, adalah cara terbaik untuk meningkatkan kinerja para pekerja. Menanggapi kritikan tersebut, Goleman mengatakan bahwa kemampuan kognitif mengantarkan seseorang ke "pintu gerbang suatu perusahaan", tetapi kemampuan emosional membantu seseorang untuk mengembangkan diri setelah diterima bekerja dalam sebuah perusahaan. EQ merupakan faktor yang sama pentingnya dengan kombinasi kemampuan teknis dan analisis untuk menghasilkan kinerja optimal. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam suatu perusahaan semakin crusial peran EQ.
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Noriah Mohd. Ishak, dkk mengenai Kecerdasan Emosional Dan Hubungannya Dengan Nilai Kerja, dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan pengendalian emosi tenaga pendidik (guru) di Maktab Rendah Sains MARA (MRMS), Malaysia. Dimana, dari hasilpenelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan di antara kecerdasan emosi dan nilai kerja di kalangan guru MRMS walaupun kekuatan hubungan tersebut adalah di peringkat sederhana (rendah). Hal ini boleh diinterpretasikan bahwa guru yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik juga menunjukkan prestasi kerja yang baik terutamanya dikalangan guru-guru yang baru mengajar kurang dari sepuluh tahun. Kajian ini mempunyai dampak yang besar kepada dasar pendidikan guru dimana pelatihan kecerdasan emosi untuk guru-guru perlu diperkenankan di dalam kurikulum pendidikan guru di Malaysia.
Dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan prilaku, Goleman memperlihatkan factor-faktor yang terkait mengapa orang ber-IQ tinggi gagal dan orang ber-IQ sedang menjadi sangat sukses. Factor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas, dimana cara yang disebutnya “kecerdasan emosional”, yang mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Goleman, kerugian pribadi akibat rendahnya kecerdasan emosional dapat berkisar mulai dari kesulitan perkawinan dan mendidik anak hingga ke buruknya kesehatan jasmani. Penelitia baru memperlihatkan bahwa amarah dan kecemasan kronis dapat menciptakan resiko besar bagi kesehatan seperti hal nya merokok berantai.rendahnya kecerdasan emosional dapat menghambat pertimbangan intelektual dan menghancurkan karier. Barangkali kerugian terbesar diderita oleh anak-anak yang mungkin dapat terjerumus dalam resiko terserang depresi, gangguan makan dan kehamilan yang tak diinginkan, agresifitas, serta kejahatan dengan kekerasan.


Daftar Pustaka

Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com
Elizabeth B. Hurlock,1997. Perkembangan Anak, Jakarta: Erlangga
Noriah Mohd. Ishak, dkk. 2003. Kecerdasan Emosi Dan Hubungannya Dengan Nilai Kerja. Jurnal Teknologi
Steven J. Stein, PhD. 2009. Emotional Intelligencefor Dummies. Printed in the United States




Facebook comment