Select Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
use your language

Jumat, 18 Maret 2011

Psikologi Lintas Budaya dan Perilaku Sosial


PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA DAN PERILAKU SOSIAL

A.     Konformitas
è sikap mengalah seseorang pada tekanan social baik yang nyata maupun yang dibayangkan.     
            Definisi Konformitas adalah :Sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari kelompokPerilaku seseorang yang sama ( seragam ) dengan perilaku orang lain atau perilaku kelompoknya. Jadi apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas.
Sebab konformitas :
Menurut morton deutch dan harold gerald ( 1995 ) :
·         Informational influence : Bahwa kelompok merupakan presentasi fakta atau pengetahuan tentang situasi. Kelompok merupakan sumber informasi yang objektif.
·         Normative :
o       tekanan untuk mengikuti kelompok
o       tekanan sosial berasal dari norma norma kelompok, seperti loyalitas, solidaritas.
o       ingin mencapai seperti anggota kelompok
o       tidak ingin kelihatan berbeda
·         Self categorization ( Dominic abrams & michael Hogg, 1990 ) : Usaha untuk memelihara konsep atau identitas diri sebagai anggota kelompok.
Respon non conformity, terdapat dua respon non conformity, yaitu :
·         Independence : tingkah laku “tidak responsif” terhadap kelompok, Tingkah laku bebas dari norma norma kelompok
·         Anti conformity atau counterconformity : Oposisi yang konsisten terhadap norma kelompok. Dilakukan anti konformis untuk memelihara konsep diri mereka.
Perbedaan individual dalam konformitas :
·         Non conformist : Independent, efektif secara intelektual , egostrength kuat, kepemimpinan dan hubungan social baik, tidak rendah diri, rigid, otoriter
·         Orang yang conform : memiliki need for affiliation yang besar ( mc ghee & Trevan, 1967 )Mengandalkan kelompok sebagai sumber informasi mereka ( Champbel , 1986 )
B.     Nilai
è suatu konsep yang dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif,mengenai sesuatu yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternative.
Nilai tampak sebagai ciri individu dan masyarakat yang relative lebih stabil dan karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya. Nilai biasa dipertimbangkan sebagai hal yang lebih umum dalam karakter ketimbang sikap.

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji nilai dalam psikologi adalah : pendekatan rokeach (1973) dia mengembangkan 2 perangkat nilai yang disebut nilai terminal dan nilai instrumental. Nilai terminal dibatasi sebagai keberadaan akhir eksistensi yang diidamkan dan nilai instrumental dibatasi sebagai cara berprilaku yang diidamkan, digunakan untuk mencapai keberadaan akhir.

Contoh nilai terminal : kesamaan,kebebasan,kebahagian penyelamatan, dan penghargaan kepada diri sendiri. Sedangkan nilai instrumental contohnya berbesar hati,jujur,sopan dan bertanggung jawab.

C.     Individualism dan kolektifisme
Subjek dari budaya kolektifisme menggunakan kualitas ketimbang keadilan,tetapi hal ini bukan kasus untuk subjek dari budaya yang lebih individualistic. Dan kolektifistik menunjukkan perilaku keadilan hanya kepada para anggota ”kelompok-dalam” sedangkan kepada “kelompok – luar” perilaku mereka sama dengan subjek pada budaya-budaya individualistic.

Disisi individualis kita menemukan masyarakat dimana hubungan antara individu yang longgar,semua orang diharapkan untuk mengurus dirinya dan keluarga.
Misalnya : jerman dapat dianggap sebagai  individualis dengan skor yang relative tinggi dibandingkan dengan Negara seperti Guatemala, dimana mereka memiliki kolektivisme kuat.
Kolektivisme adalah setiap, politik, ekonomi atau sosial pandangan filosofis yang menekankan saling ketergantungan setiap manusia dalam beberapa kolektif kelompok dan prioritas tujuan kelompok lebih dari tujuan individu. Korporatisme mengacu pada bentuk kolektivisme bahwa pandangan keseluruhan sebagai lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya masing-masing, dan memberikan prioritas kepada hak-hak kelompok atas hak-hak individu.
Atribut dari individualis dan kolektivis
1.      Individualism dan individualis
Individualisme adalah pola sosial yang menempatkan nilai tertinggi pada kepentingan individu. Individualis melihat diri mereka sebagai independen dan hanya longgar terhubung ke kelompok mana mereka merupakan bagiannya.
Ketika menetapkan tingkat komitmen mereka kepada orang lain, individualis menyeimbangkan keuntungan dan kerugian dari menumbuhkan dan mempertahankan hubungan; tingkat komitmen pada umumnya sesuai dengan tingkat manfaat yang dirasakan preferensi pribadi, kebutuhan, hak dan tujuan perhatian utama individualis ', dan mereka cenderung untuk menempatkan nilai tinggi terhadap kebebasan pribadi dan prestasi. Kemandirian dan daya saing adalah ciri-ciri individualis umum
2.        Kolektivisme dan kolektivis
Kolektivisme adalah pola sosial yang menempatkan nilai tertinggi pada kepentingan kelompok. Ketika pribadi tujuan bertentangan dengan norma-norma kelompok, kolektivis cenderung sesuai dengan norma-norma kelompok.
3.      Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individualis dan kolektif Socialization.
Semua anak-anak memulai kehidupan mereka dalam konteks kolektif, tergantung pada orang tua mereka dan setiap orang dewasa lainnya yang belakang mereka. Semua anak-anak memulai kehidupan mereka dalam konteks kolektif, tergantung pada orang tua mereka dan setiap orang dewasa lainnya yang belakang mereka.
Dalam masyarakat individualis, bagaimanapun, anak-anak sering didorong untuk mengidentifikasi preferensi pribadi dan untuk mengejar tujuan pribadi dan prestasi. Dalam masyarakat individualis, mengejar tujuan pribadi yang bertentangan dengan norma-norma keluarga mungkin dapat diterima, bahkan diharapkan.

D.    Agresifitas dan altruisme
Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu, seperti Tuhan, raja, organisasi khusus, seperti pemerintah, atau konsep abstrak, seperti patriotisme, dsb.

Tiga teori yang dapat menjelaskan tentang motivasi seseorang melakukan tingkah laku altruisme
adalah sebagai berikut :
1.      Social – exchange
Pada teori ini, tindakan menolong dapat dijelaskan dengan adanya pertukaran sosial – timbal balik (imbalan-reward). Altruisme menjelaskan bahwa imbalan-reward yang memotivasi adalah inner-reward (distress). Contohnya adalah kepuasan untuk menolong atau keadaan yang menyulitkan (rasa bersalah) untuk menolong.
2.      Social Norms
Alasan menolong orang lain salah satunya karena didasari oleh ”sesuatu” yang mengatakan pada kita untuk ”harus” menolong.”sesuatu” tersebut adalah norma sosial. Pada altruisme, norma sosial tersebut dapat dijelaskan dengan adanya social responsibility. Adanya tanggungjawab sosial, dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan menolong karena dibutuhkan dan tanpa menharapkan imbalan dimasa yang akan datang.
3.       Evolutionary Psychology
Pada teori ini, dijelaskan bahwa pokok dari kehidupan adalah mempertahankan keturunan. Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila ”orang lain” yang akan disejahterakan merupakan orang yang sama (satu karakteristik). Contohnya: seseorang menolong orang yang sama persis dengan dirinya – keluarga, tetangga, dan sebagainya.

Karakteristik altruisme Karakteristik dari tingkah laku altruisme, antara lain adalah sebagai berikut :
1.       Emphaty, altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalamdiri seseorang. Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka bertanggungjawab, bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri, dan termotivasi membuat kesan yang baik.
2.      Belief on a just world, karakteristik dari tingkah laku altruisme adalah percaya pada “a just world”, maksudnya adalah orang yang altruis percaya bahwa dunia adalah tempat yang baik dan dapat diramalkan bahwa yang baik selalu mendapatkan ”hadiah” dan yang buruk mendapatkan ”hukuman”. Dengan kepercayaan tersebut, seseorang dapat denga mudah menunjukkan tingkah laku menolong (yang dapat dikategorikan sebagai ”yang baik”).
3.       Social responsibility, setiap orang bertanggungjawab terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain, sehingga ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus menolongnya.
4.       Internal LOC, karakteristik selanjutnya dari orang yang altruis adalah mengontrol dirinya secara internal. Berbagai hal yang dilakukannya dimotivasi oleh kontrol internal (misalnya kepuasan diri).
5.       Low egocentricm, seorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia mementingkan kepentingan lain terlebih dahulu dibandingkan kepentingan dirinya. merasa bertanggung jawab terhadap situasi yang ada disekitarnya.



Faktor Pengaruh Altruisme
Menurut Wortman dkk. ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memberikan pertolongan kepada orang lain.
1.      Suasana hati.
Jika suasana hati sedang enak, orang juga akan terdorong untuk memberikan pertolongan lebih banyak. Menurut penelitian Carlson & Miller, asalkan lingkungannya baik, keinginan untuk menolong meningkat pada orang yang tidak bahagia. Pada dasarnya orang yang tidak bahagia mencari cara untuk keluar dari keadaan itu, dan menolong orang lain merupakan pilihannya. Tapi pakar psikologi lain tidak meyakini peran suasana hati yang negatif itu dalam altruisme.
2.      Empati.
Menurut Daniel Batson empati (pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah-olah mengalaminya sendiri). Empati inilah yang menurut Batson akan mendorong orang untuk melakukan pertolongan altruistis.
3.      Meyakini Keadilan Dunia.
Faktor lain yang mendorong terjadinya altruisme adalah keyakinan akan adanya keadilan di dunia (just world), yaitu keyakinan bahwa dalam jangka panjang yang salah akan dihukum dan yang baik akan dapat ganjaran. Menurut teori Melvin Lerner, orang yang keyakinannya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi untuk mencoba memperbaiki keadaan ketika mereka melihat orang yang tidak bersalah menderita. Maka tanpa piker panjang mereka segera bertindak memberi pertolongan jika ada orang yang kemalangan.
4.      Faktor Sosiobiologis.
Secara sepintas perilaku altruistis memberi kesan kontraproduktif, mengandung risiko tinggi termasuk terluka dan bahkan mati. Ketika orang yang ditolong bisa selamat, yang menolong mungkin malah tidak selamat. Perilaku seperti itu antara lain muncul karena ada proses adaptasi dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua. Selain itu, meskipun minimal, ada pula peran kontribusi unsur genetik.
5.      Faktor Situasional.
Penelitian yang pernah ada menunjukkan bahwa dalam memberikan petolongan ternyata tidak ada bedanya antara pelaku kriminal dan yang bukan. Maka disimpulkan bahwa factor situasional turut mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan kepada orang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook comment